Rabu, 19 Oktober 2011

Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Inklusif

BAB I
PENDAHULUAN

 1  Latar Belakang
Saat ini diperkirakan sepuluh persen dari populasi anak di dunia adalah anak berkebutuhan khusus (Dampingi anak, n.d.). Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia pun terus meningkat, meskipun tidak dapat dipastikan. Dinas Pendidikan Luar Biasa Kementerian Pendidikan Nasional mencatat terdapat 324.000 orang ABK di Indonesia (Pendidikan anak, 3 Maret 2010). Prevalensinya yang tinggi serta kesadaran masyarakat yang semakin meningkat mengenai isu ini membuat ABK semakin mendapatkan perhatian. Direktorat Pendidikan Luar Biasa (200Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat istilah anak luar biasa yang kini disebut sebagai anak berkebutuhan khusus masih disalah tafsirkan, yaitu anak luar biasa selalu diartikan sebagai anak berkemampuan unggul atau yang berprestasi yang luar biasa. Padahal pengertian anak luar biasa juga mengacu pada pengertian yaitu anak yang menglami kelainan atau ketunaan.
Selain masyarakat yang masih keliru dalam menafsirkan pengertian anak yang luar biasa, faktor penyebab sehingga anak menjadi anak luar biasa dan karakteristik dari masing-masing jenis anak yang mengalami keluarbisaan. Dalam dunia pendidikan luar biasa seorang anak diartikan sebagai anak luar biasa jika anak ersebut membutuhkan perhatian khusus dan layanan pendidikan yang bersifat khusus oleh guru pendidik atau pembimbing khusus yang berlatar belakang disiplin ilu pendidikan luar biasa atau disiplin ilmu lainnya yang relevan dan memiliki sertifikasi kewenangan dalam mengajar, mendidik, membimbing dan melatih anak luar biasa.4, dalam Mangunsong, 2010). 
Selain itu dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan baru-baru ini pemerintah menciptakan terobosan baru melalui sekolah inklusif. Pengertian tentang pendidikan inklusif sendiri belum banyak disosialisasikan di Indonesia apalagi tentang bentuk pelaksanaan dan sistem pendidikan tersebut, karena merupakan suatu hal baru. Konsep sekolah inklusif ini yaitu anak-anak dari kalangan berkelainan atau berkebutuhan khusus dapat mengikuti kelas biasa, namun disisi lain merekapun harus mengikuti program khusus sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas mereka.
 Oleh karena itu dalam pembahasan kali ini kami akan menjelaskan secara lebih holistik mengenai pengertan anak ABK, pendidikan inklusi dan perkembangannya di indonesia.

1.2  Rumusan Masalah
  • Apa yang dimaksud dengan anak ABK? 
  • Bagaimana pendapat para ahli mengenai pengertian ABK?
  • Apa yang imaksud dengan pendidikan inklusi bagi ABK
  • Bagaimana perkembangan AK di Indonesia?
1.3  Tujuan
1.      Untuk menambah wawasan mengenai Pendidikan ABK
2.      Untukmemenuhi salah satu tugas mata kuliah BABK
3.      Sebagai bahan acuan bagi calon guru dalam melaksanakan bimbingan anak berkebutuhan khusus dan cara penanganannya.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus ( ABK )
Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Sedangkan Lynch (1994:1) mendefinisikan anak yang membutuhkan pendidikan khusus sebagai berikut.
"Children with special educational needs as all those who permanently or temporarity during their school careers have need of special educational responses on the part of the teacher, the institution and/or the system by dint of their physical, mental or multiple impairment or emotional condition or for reasons of situasional disadvantage"
Pernyataan di atas memberikan makna bahwa anak yang membutuhkan pendidikan khusus adalah anak yang secara permanen (individu dengan hambatan sesori penglihatan, pendengaran, perkembangan intelektual, fisik dan motorik, emosi dan perilaku, individu berbakat, tunaganda, individu berkesulitan belajar individu dengan autisme dan individu dengan hambatan konsenterasi dan perhatian) atau temporer (kondisi sosial-emosi, ekonomi dan politik) selama jenjang sekolah mereka memerlukan penanganan pendidikan khusus dari pihak guru, institusi, dan/atau sistem sebagai akibat kelainan mereka baik secara fisik, mental, atau gabungannya, atau kondisi emosi, atau karena alasan situasi yang kurang menguntungkan.
Sedangkan untuk situasi Indonesia, Kebijakan Direktorat Pendidikan Luar Biasa tentang Layanan Pendidikan Inklusi bag] Anak Berkebutuhan Pendidikan Khusus (Nasichin, 2002:5) mengartikan anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang tergolong luar biasa, baik dalam arti berkelainan, lamban belajar, maupun yang berkesulitan belajar. Berkelainan diartikan sebagai anak yang mengalami kelainan fisik dan atau mental dan atau kelainan perilaku. Kelainan fisik, meliputi tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa. Kelainan mental meliputi anak tunagrahita ringan dan tunagrahita sedang. Sedangkan kelainan perilaku meliputi anak tunalaras. Selanjutnya PP nomor 72/1991 menyebutkan bahwa jenis kelainan peserta didik terdiri atas kelainan fisik dan/atau mental dan/atau kelainan perilaku. Kelainan fisik meliputi tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa. Sedangkan kelainan mental meliputi tunagrahita ringan dan tunagrahita sedang.
Kirk dan Gallagher (1986:5) mendefinisikan the exceptional child (anak berkebutuhan khusus) sebagai anak yang berbeda dari anak rata-rata atau normal dalamhal (1) karakteristik mental, (2) kemampuan sensori, (3) kemampuan komunikasi,c(4) perilaku sosial, atau (5) karakteristik pisik. Anak-anak seperti ini amemerlukan pelayanan pendidikan secara khusus untuk mengembangkan kapasitasnya secara maksimum. Hallahan dan Kauffman (1986:5) membuat batasan exceptional children adalah anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus yang disebabkan karena mereka mempunyai perbedaan yang sangat mencolok dari anak-anak pada umumnya dalam satu hal atau lebih berikut ME mentally retarded, gifted, learning disabled, emotionally disturb, physically handicapped, atau mempunyai gangguan bicara atau bahasa, gangguan pendengaran, atau gangguan penglihatan. Istilah ini dipandang lebih luas ruang lingkupnya dari pada istilah sebelumnya, karena bukan saja anak yang berkekurangan atau anak cacat, atau anak tuna, melainkan anak yang memiliki kelebihanpun (gifted) namun memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus dapat dikategorikan sebagai anak luar biasa. Anak luar biasa pun dapat didefinisikan sebagai anak berkebutuhan khusus karena dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya anak ini membutuhkan bantuan layanan pendidikan, layanan sosial layanan bimbingan dan konseling dan berbagai jenis layanan lainnya yang bersifat khusus.
Berdasarkan pernyataan di atas, jelas bahwa kondisi-kondisi tersebut dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak balk jasmani, rohani, dan atau sosialnya, sehingga mereka tidak dapat mengikuti pendidikan dengan wajar. Dengan perkataan lain, mereka adalah anak-anak yang potensial bermasalah yang apabila mendapat layanan bimbingan secara tepat, potensi mereka akan berkembang secara optimal.
2.2  Pengertian Inklusif
Istilah inklusi yang dianggap istilah baru untuk mendiskripsikan penyatuan bagi anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program-program sekolah (dan juga diartikan sebagai menyatukan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) dengan cara-cara yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh.
Pendidikan inklusif merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Pendidikan inklusif merupakan model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak berkelainan atau cacat dimana penyelenggaraannya dipadukan bersama anak normal dan tempatnya di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga bersangkutan.
Stout (2001:1) mengemukakan tentang defnisi inklusi sebagai berikut.
“Inclusion is a term which expresses commitment to educate each child, to the maximum extent appropriate, in the school and classroom he or she would otherwise attend. It involves bringing the support services to the child (rather than moving the child to the services) and requires only that the child will benefit from being in the class (rather than having to keep up with the other student)”.
Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa inklusi merupakan suatu istilah yang menyatakan komitmen terhadap pendidikan yang sedemikian tepatnya bagi setiap anak, di mana is akan mengikuti pendidikan baik di sekolah maupun di kelas. Inklusi melibatkan berbagai dukungan layanan terhadap anak dan hanya memerlukan bahwa anak akan mendapat manfaat dari kehidupan di kelas (lebih baik mengalami untuk mengikuti siswa yang lain).
Pada hakekatnya pendidikan inklusif tidaklah hanya sebatas untuk memberi kesempatan kepada anak-anak berkebutuhan khusus, untuk menikmati pendidikan yang sama, namun hak berpendidikan juga untuk anak-anak lain yang kurang beruntung, misalnya anak dengan HIV/AIDS, anak-anak jalananan, anak yang tidak mampu (fakir-miskin), anak-anak korban perkosaan, korban perang dan lainnya, tanpa melihat agama, ras dan bahasanya. Konsep pendidikan inklusif memiliki lebih banyak kesamaan dengan konsep yang melandasi gerakan ‘Pendidikan untuk Semua’ dan ‘Peningkatan mutu sekolah’. Namun kebijakan dan praktek inklusi anak berkebutuhan khusus (penyandang cacat) telah menjadi katalisator utama untuk mengembangkan pendidikan inklusif yang efektif, yang fleksibel dan tangap terhadap keanekaragaman gaya dan kecepatan belajar.
“Pendidikan inklusif merupakan perkembangan pelayanan  pendidikan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, dimana prinsip mendasar dari pendidikan inklusif, selama  memungkinkan, semua anak atau peserta didik seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang  mungkin ada pada mereka.” (pernyataan Salamanca,1994)
“Inklusi itu masa depan, milik ras manusia, hak asasi manusia,  pengupayaan agar bisa hidup berdampingan satu sama lain,  bukanlah sesuatu hal yang harus dilakukan kepada seseorang atau  untuk seseorang, dilakukan bersama bagi satu sama lain, bukanlah sesuatu yang kita lakukan sedikit saja”. (Marsha Forest, 2005: 19).
Adapun  pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
     Menurut Heller, Holtzman&Messick (1982), mengatakan bahwa layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat. Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen.
     Dan pernyatan-pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa sekolah reguler yang berorientasi inklusi merupakan alat untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, mencapai pendidikan bagi semua, sehingga akan memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi karena akan menurunkan biaya bagi seluruh sistem pendidikan.
2.3  Perkembangan pendidikan ABK di Indonesia
Konsep Dasar Anak Berkebutuhan Khusus Secara historis, istilah yang digunakan untuk menyebut anak berkebutuhan khusus (ABK) mengalami perubahan beberapa kali sesuai dengan paradigma yang diyakini pada saat itu. Perubahan istilah yang dimaksud mulai dari anak cacat, anak tuna, anak berkekurangan , anak luar biasa, atau anak berkelainan sampai menjadi istilah anak berkebutuhan khusus. Di Indonesia, penggunaan istilah-istilah tersebut baru diundangkan secara khusus pada tahun 1950 melalui Undang-undang Nomor 4 , kemudian disusul dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 1954 dengan istilah anak cacat atau anak tuna, atau anak berkekurangan.
Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Akhir abad ke 20 muncul gerakan "Normalisasi " bukan berarti membuat anak luar biasa menjadi normal, tetapi penyediaan pola dan kondisi kehidupan sehari-hari bagi anak luar biasa sedekat mungkin dengan pola dan kondisi  kehidupan masyarakat pada umumnya Perhatian dari pemerintah pun tampak dari layanan pendidikan khusus yang disediakan bagi mereka, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Dirjen Manajemen Dikdasmen, 2006). Adapun istilah yang digunakan di Indonesia adalah anak berkebutuhan khusus sebagai terjemahan dari istilah "Children with Special needs ". Istilah ini muncul sebagai akibat adanya perubahan cara pandang masyarakat terhadap anak luar biasa (Exceptional Children). Pandangan baru ini meyakini bahwa semua anak luar biasa mempunyai hak yang sama dengan manusia pada umumnya. Oleh karena itu semua anak luar biasa baik yang berat maupun yang ringan (tanpa kecuali) harus dididik bersama-sama dengan anak-anak pada umumnya di tempat yang sama. Dengan perkataan lain anak-anak luar biasa tidak boleh ditolak untuk belajar di sekolah umum yang mereka inginkan. Sistem pendidikan seperti inilah yang disebut dengan pendidikan inklusif.
Lingkup Pengembangan Kurikulum Pendidikan Inklusif
Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik dan tingkat kecerdasannya. Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap: alokasi waktu, isi/materi kurikulum, proses belajar-mengajar,sarana prasasaraa, lingkungan belajar dan pengelolaan kelas.
 Pengembang Kurikulum
Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi dapat dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang mengajar di kelas inklusif bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan.

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami gangguan yang signifikan baik aspek psikis, sosial, emosional, dan indrawi yang menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut, sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk mengembangkan potensi kemanusiaaan mereka. Pendidikan Inklusif muncul sebagai suatu layanan pendidika program pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dimana penyelenggaraannya dengan cara memadukan anak-anak yang berkelainan atau berkebutuhan khusus bersama anak normal lainnya, menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga yang bersangkutan.
Tujuan pendidikan inklusif yaitu agar semua anak mendapatkan hak pendidikan dan  kedudukan yang sama tak terkecuali bagi mereka yang berkebutuhan khusus. Sekolah reguler yang berorientasi inklusi ini merupakan alat untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, mencapai pendidikan bagi semua, sehingga akan memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi karena akan menurunkan biaya bagi seluruh sistem pendidikan.

3.1  Saran
Penyelenggaraan sekolah inklusif harus terus dikembangkan demi memberikan ruang gerak, ruang belajar tertutama bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus agar mereka tidak dipandang sebelah mata lagi. Untuk itu pemerintah harus memperhatikan betul, apa saja kebutuhan mereka, baik dari sarana dan prasana maupun guru pembimbing untuk mereka. Saya berharap sekali  pemerintah beserta para kaum pemerhati pendidikan untuk terus memberikan yang terbaik bagi dunia pendidikan tanpa membedakan siswa yang normal maupun siswa berkebutuhan khusus.     

DAFTAR PUSTAKA

Setiawan, Atang dkk.2006.Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Tim UPI Press.
Hadis Abdul.2006.Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik.Bandung; Alfabeta.
http://google.com/index.pdf?tittel=Layanan Bimbingan bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Dasar Wilayah Kota Bandung Tesis Program BP-BAK PPs UPI Tahun 2003.html. 
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Anak_berkebutuhan_khusus.html.






1 komentar:

  1. terima kasih banyak,
    sangat membantu sekali terhadap tugas makalah saya. :D

    BalasHapus